TUMBANG Oleh: Rendy Ferdiansah

TUMBANG
Oleh  :  Rendy Ferdiansah

Aku adalah hitam

Kapur menggores tubuhku
Saat aku menatap
Seorang perempuan kecil
Tengah menangis dan takut
Sedang merintih dan berpikir
Begitu hidup tidak bersahabat
Ketika jalan menjadi rawa
Ketika dinding yang kokoh
Akhirnya tumbang seperti pohon tua
Semangat berkobar seperti api
Bongkahan es meleleh jatuh ditengahnya
Asap bermunculan
Api menghilang
Kain lusuh telah berbeda warna
Teman bagaikan neraka
Candaan yang melihat
Hinaan bagi perempuan kecil resah
Sebutkan kata sebelum tertawa
Berikan tanda sebelum menegur
Wajah yang tidak bersahabat
Setiap detik tidak tersisa
Menertawakan buangan mereka
Sebab hati manusia
Tidak ingin bersahabat dengan orang
Yang tidak searah dengan mereka

REGENERASI HITAM Oleh: Rendy Ferdiansah

REGENERASI HITAM
Oleh  : Rendy Ferdiansah

Regenerasi hitam
Yang merugikan bangsa
Pemuda sekarang sangatlah tenang
Dan menjadi sampah
Bisa tersenyum tanpa harus berpikir
Tak hebat seperti ujinya
Bisa berhasil tanpa harus berjuang
Tak bermutu
Mampu menindas tanpa bermoral
Apalagi mengatur
Mampu menyingkirkan yang merugikannya
Apalagi memimpin
Pemuda yang rendah seperti imitasi
Untuk standar formulir
Dipercaya tanpa diuji
Hanya butuh nilai
Tidak berhasil tanpa mendapat kesempatan
Pendidikan tidak berguna
Tersingkir keras meronta hati
Regenerasi hitam
Mulut diam hatinya marah
Yang tau siapa ?
Mata terpejam hatinya berteriak
Yang tau bagaimana ?
Diam
Hebat tak ternilai orang
Tangis
Hebat bapaknya
Marah
Hebat nenek moyangnya
Kesal
Hebat tak terlihat
Kecewa
Hebat tipuan
Dendam
Hebat bangga
Tak mampu berkata pemuda lemah
Tanpa si mata hijau
Terduduk kalah diantara teriakan
Yang tak mampu berhasil
Harus menangis diantara tawa
Yang tak punya otak
Harus memendam dendam dan kecewa
Bagi mereka
Tak kuat maka putus asa
Tidak terlihat berbeda
Tak kuat maka mati rasa
Hanya beda tipis
Tak kuat maka hilang jalan
Kemenangan dan kecurangan
Regenerasi hitam
Dirayakan
Seperti malam saat berkobar kecewa
Dibanggakan
Hati bercerita
Dimenangkan
Otak emosi memanas
Regenerasi hitam
Kaki gemetar
Yang didapat
Tangan terlemaskan
Berapa ?
Kepala tertunduk
Dimana ?
Regenerasi hitam
Siapa ?
Mata hijau merasa rela
Seperti tidak mengenal
Siapa besar dia menang
Tentang apa yang terjadi
Siapa banyak dia menang
Seperti tak tau
Siapa berpangkat keturunan senang
Bersandiwara
Siapa dihormati mengalahkan bawah
Berpura-pura
Curang
Bersembunyi
Permainan
Diam-diam
Dibelakang mata
Menusuk

DUA JARAK KATA Oleh: Rendy Ferdiansah

DUA JARAK KATA

Oleh : Rendy Ferdiansah



Andai gelombang udara saja

Bola api aku menghirup udara bisa

Angin beliung mengungkapkan

Bahwa ada cinta

Tinta Merah aku mewakili hati katakan

Bahwa benar aku tidak pernah mencintai

Mahligai rasa kamu

Air putih hanya pembatas

Kutipan saja berai mata aku

Titik koma belum lagi nirwana

Siap meninggalkan cinta

PAMPLET CINTA Oleh: W.S. Rendra

PAMPLET CINTA

Oleh : W.S. Rendra
Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan

Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjdai kaca.
Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit.
Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian.
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan.
……. Sebenarnya apakah harapan ?
Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma !

Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lengang…….
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
Lalu muncullah kamu,
nongol dari perut matahari bunting,
jam duabelas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmat turun bagai hujan
membuatku segar,
tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma !

Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering berpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ?
Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
memandang wajahmu dari segenap jurusan.

SAJAK TANGAN Oleh : W.S. Rendra Inilah tangan seorang mahasiswa, tingkat sarjana muda. Tanganku. Astaga. Tanganku menggapai, yang terpegang anderox hostes berumbai, Aku bego. Tanganku lunglai. Tanganku mengetuk pintu, tak ada jawaban. Aku tendang pintu, pintu terbuka. Di balik pintu ada lagi pintu. Dan selalu : ada tulisan jam bicara yang singkat batasnya. Aku masukkan tangan-tanganku ke celana dan aku keluar mengembara. Aku ditelan Indonesia Raya. Tangan di dalam kehidupan muncul di depanku. Tanganku aku sodorkan. Nampak asing di antara tangan beribu. Aku bimbang akan masa depanku. Tangan petani yang berlumpur, tangan nelayan yang bergaram, aku jabat dalam tanganku. Tangan mereka penuh pergulatan Tangan-tangan yang menghasilkan. Tanganku yang gamang tidak memecahkan persoalan. Tangan cukong, tangan pejabat, gemuk, luwes, dan sangat kuat. Tanganku yang gamang dicurigai, disikat. Tanganku mengepal. Ketika terbuka menjadi cakar. Aku meraih ke arah delapan penjuru. Di setiap meja kantor bercokol tentara atau orang tua. Di desa-desa para petani hanya buruh tuan tanah. Di pantai-pantai para nelayan tidak punya kapal. Perdagangan berjalan tanpa swadaya. Politik hanya mengabdi pada cuaca….. Tanganku mengepal. Tetapi tembok batu didepanku. Hidupku tanpa masa depan. Kini aku kantongi tanganku. Aku berjalan mengembara. Aku akan menulis kata-kata kotor di meja rektor TIM, 3 Juli 1977 Potret Pembangunan dalam Puisi

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
SAJAK TANGAN Oleh : W.S. Rendra Inilah tangan seorang mahasiswa, tingkat sarjana muda. Tanganku. Astaga. Tanganku menggapai, yang terpegang anderox hostes berumbai, Aku bego. Tanganku lunglai. Tanganku mengetuk pintu, tak ada jawaban. Aku tendang pintu, pintu terbuka. Di balik pintu ada lagi pintu. Dan selalu : ada tulisan jam bicara yang singkat batasnya. Aku masukkan tangan-tanganku ke celana dan aku keluar mengembara. Aku ditelan Indonesia Raya. Tangan di dalam kehidupan muncul di depanku. Tanganku aku sodorkan. Nampak asing di antara tangan beribu. Aku bimbang akan masa depanku. Tangan petani yang berlumpur, tangan nelayan yang bergaram, aku jabat dalam tanganku. Tangan mereka penuh pergulatan Tangan-tangan yang menghasilkan. Tanganku yang gamang tidak memecahkan persoalan. Tangan cukong, tangan pejabat, gemuk, luwes, dan sangat kuat. Tanganku yang gamang dicurigai, disikat. Tanganku mengepal. Ketika terbuka menjadi cakar. Aku meraih ke arah delapan penjuru. Di setiap meja kantor bercokol tentara atau orang tua. Di desa-desa para petani hanya buruh tuan tanah. Di pantai-pantai para nelayan tidak punya kapal. Perdagangan berjalan tanpa swadaya. Politik hanya mengabdi pada cuaca….. Tanganku mengepal. Tetapi tembok batu didepanku. Hidupku tanpa masa depan. Kini aku kantongi tanganku. Aku berjalan mengembara. Aku akan menulis kata-kata kotor di meja rektor TIM, 3 Juli 1977 Potret Pembangunan dalam Puisi

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
SAJAK TANGAN Oleh : W.S. Rendra Inilah tangan seorang mahasiswa, tingkat sarjana muda. Tanganku. Astaga. Tanganku menggapai, yang terpegang anderox hostes berumbai, Aku bego. Tanganku lunglai. Tanganku mengetuk pintu, tak ada jawaban. Aku tendang pintu, pintu terbuka. Di balik pintu ada lagi pintu. Dan selalu : ada tulisan jam bicara yang singkat batasnya. Aku masukkan tangan-tanganku ke celana dan aku keluar mengembara. Aku ditelan Indonesia Raya. Tangan di dalam kehidupan muncul di depanku. Tanganku aku sodorkan. Nampak asing di antara tangan beribu. Aku bimbang akan masa depanku. Tangan petani yang berlumpur, tangan nelayan yang bergaram, aku jabat dalam tanganku. Tangan mereka penuh pergulatan Tangan-tangan yang menghasilkan. Tanganku yang gamang tidak memecahkan persoalan. Tangan cukong, tangan pejabat, gemuk, luwes, dan sangat kuat. Tanganku yang gamang dicurigai, disikat. Tanganku mengepal. Ketika terbuka menjadi cakar. Aku meraih ke arah delapan penjuru. Di setiap meja kantor bercokol tentara atau orang tua. Di desa-desa para petani hanya buruh tuan tanah. Di pantai-pantai para nelayan tidak punya kapal. Perdagangan berjalan tanpa swadaya. Politik hanya mengabdi pada cuaca….. Tanganku mengepal. Tetapi tembok batu didepanku. Hidupku tanpa masa depan. Kini aku kantongi tanganku. Aku berjalan mengembara. Aku akan menulis kata-kata kotor di meja rektor TIM, 3 Juli 1977 Potret Pembangunan dalam Puisi

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
SAJAK MATAHARI Oleh : W.S. Rendra Matahari bangkit dari sanubariku. Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala. Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin ! kakimu terbenam di dalam lumpur. Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu ! Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia. Matahri adalah cakra jingga yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia ! Yogya, 5 Maret 1976 Potret Pembangunan dalam Puisi
SAJAK MATAHARI Oleh : W.S. Rendra Matahari bangkit dari sanubariku. Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala. Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin ! kakimu terbenam di dalam lumpur. Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu ! Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia. Matahri adalah cakra jingga yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia ! Yogya, 5 Maret 1976 Potret Pembangunan dalam Puisi

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
SAJAK MATAHARI Oleh : W.S. Rendra Matahari bangkit dari sanubariku. Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala. Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin ! kakimu terbenam di dalam lumpur. Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu ! Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia. Matahri adalah cakra jingga yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia ! Yogya, 5 Maret 1976 Potret Pembangunan dalam Puisi

Copy and WIN : http://o
SAJAK MATAHARI Oleh : W.S. Rendra Matahari bangkit dari sanubariku. Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala. Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin ! kakimu terbenam di dalam lumpur. Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu ! Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia. Matahri adalah cakra jingga yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia ! Yogya, 5 Maret 1976 Potret Pembangunan dalam Puisi

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
SAJAK MATAHARI Oleh : W.S. Rendra Matahari bangkit dari sanubariku. Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala. Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin ! kakimu terbenam di dalam lumpur. Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu ! Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia. Matahri adalah cakra jingga yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia ! Yogya, 5 Maret 1976 Potret Pembangunan dalam Puisi

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt

SAJAK KENALAN LAMAMU Oleh: W.S. Rendra

SAJAK KENALAN LAMAMU

Oleh : 
W.S. Rendra
Kini kita saling berpandangan saudara. 
Ragu-ragu apa pula,
 
kita memang pernah berjumpa.
 
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
 
tergencet oleh penumpang berjubel,
 
Dari Yogya ke Jakarta,
 
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran, 
sambil memeluk satu anakmu,
 
sementara istrimu meneteki bayinya,
 
terbaring di sebelahmu.
 
Pernah pula kita satu truk,
 
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
 
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
 
dan lalu sama-sama kaget,
 
ketika truk tiba-tiba terhenti
 
kerna distop oleh polisi,
 
yang menarik pungutan tidak resmi.
 
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
 
kerna sama-sama anak jalan raya.
 
……………………………
Hidup macam apa ini ! 
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
 
Bukan dari tujuan ke tujuan.
 
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
 
…………………….
Kini kita bersandingan, saudara. 
Kamu kenal bau bajuku.
 
Jangan kamu ragu-ragu,
 
kita memang pernah bertemu.
 
Waktu itu hujan rinai.
 
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
 
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
 
Kita saling berpandangan.
 
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
 
Aku membuka mulut,
 
hendak berkata sesuatu……
 
Tak sempat !
 
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
 
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
 
aku melihat kamu
 
membawa helaian plastik itu
 
ke satu gubuk karton.
 
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
 
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
 
Sebungkus nasi yang dicuri,
 
itulah santapan.
 
Kolong kios buku di terminal
 
itulah peraduan.
 
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
 
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
 
………………….
Hidup macam apa hidup ini. 
Di taman yang gelap orang menjual badan,
 
agar mulutnya tersumpal makan.
 
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
 
agar pantatnya diganjal sedan.
 
……………..
 
Duabelas pasang payudara gemerlapan,
 
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
 
Dan di bawah semuanya,
 
celana dalam sutera warna kesumba.
 
Ya, saudara,
 
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
 
Ragu-ragu apa pula
 
kita memang pernah berjumpa.
 
Kita telah menyaksikan,
 
betapa para pembesar
 
menjilati selangkang wanita,
 
sambil kepalanya diguyur anggur.
 
Ya, kita sama-sama germo,
 
yang menjahitkan jas di Singapura
 
mencat rambut di pangkuan bintang film,
 
main golf, main mahyong,
 
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
 
………..
 
Hidup dalam khayalan,
 
hidup dalam kenyataan……
 
tak ada bedanya.
 
Kerna khayalan dinyatakan,
 
dan kenyataan dikhayalkan,
 
di dalam peradaban fatamorgana.
 
……….
Ayo, jangan lagi sangsi, 
kamu kenal suara batukku.
 
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
 
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
 
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
 
bergiliran meniduri gula-gulanya,
 
dan mengintip ibumu main serong
 
dengan ajudan ayahmu.
 
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
 
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
 
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
 
di samping kere di Malioboro.
 
Kita alami semua ini,
 
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
 
…..
Hidup melayang-layang. 
Selangit,
 
melayang-layang.
 
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
 
meninggi…. Ke awan……
 
Peraturan dan hukuman,
 
kitalah yang empunya.
 
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
 
di atas sol sepatu kita.
 
Kitalah gelandangan kaya,
 
yang perlu meyakinkan diri
 
dengan pembunuhan.
 
………..
 
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
 
Kini kita bertemu lagi.
 
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
 
kita memang pernah bertemu.
 
Bukankah tadi telah kamu kenal
 
betapa derap langkahku ?
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas, 
membakari mobil-mobil,
 
melambaikan poster-poster,
 
dan berderap maju, berdemonstrasi.
 
Kita telah sama-sama merancang strategi
 
di panti pijit dan restoran.
 
Dengan arloji emas,
 
secara teliti kita susun jadwal waktu.
 
Bergadang, berunding di larut kelam,
 
sambil mendekap
 hostess di kelab malam. 
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
Politik adalah cara merampok dunia. 
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
 
untuk menikmati giliran berkuasa.
 
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
 
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
 
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
 
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
 
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
 
Dan bila ada orang banyak bacot,
 
kita cap ia sok pahlawan.
 
………………………..
Dimanakah kunang-kunag di malam hari ? 
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
 
Di hari-hari yang berat,
 
aku cari kacamataku,
 
dan tidak ketemu.
 
………………
Ya, inilah aku ini ! 
Jangan lagi sangsi !
 
Inilah bau ketiakku.
 
Inilah suara batukku.
 
Kamu telah menjamahku,
 
jangan lagi kamu ragau.
Kita telah sama-sama berdiri di sini, 
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
 
gunung yang kelabu membara,
 
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
 
di putar
 blue-film di dalamnya. 
…………………
Kekayaan melimpah. 
Kemiskinan melimpah.
 
Darah melimpah.
 
Ludah menyembur dan melimpah.
 
Waktu melanda dan melimpah.
 
Lalu muncullah banjir suara.
 
Suara-suara di kolong meja.
 
Suara-suara di dalam lacu.
 
Suara-suara di dalam pici.
 
Dan akhirnya
 
dunia terbakar oleh tatawarna,
 
Warna-warna nilon dan plastik.
 
Warna-warna seribu warna.
 
Tidak luntur semuanya.
 
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
 
dari suatu kejadian,
 
yang kita tidak tahu apa-apa,
 
namun lahir dari perbuatan kita.
Yogyakarta, 21 Juni 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi